Pergantian rezim pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru melahirkan hegemoni negara yang kuat. Untuk menciptakan, memperkuat dan mempertahankan hegemoni itu, dengan bantuan militer, rezim pemerintahan Orde Baru mengontrol kelompok-kelompok oposisi yang dianggap atau diperkirakan akan membahayakan hegemoni negara. Salah satu dari berbagai strategi kontrol negara Orde Baru adalah dengan membangun kamp-kamp pengasingan untuk para tahanan politik dari partai terlarang, PKI di berbagai daerah nusantara. Di Sulawesi Selatan, kamp pengasingan yang terletak di wilayah hutan belantara, Moncongloe, diperuntukkan 911 tahanan politik yang berasal dari berbagai latar belakang etnik yang berbeda-beda, Melayu, Bugis, Makassar, Cina dan etnik lainnya. Kehidupan sehari-hari di dalam kamp pengasingan diwarnai oleh kontrol militer yang keras. Artikel ini mencoba untuk melihat bagaimana daily politics dari tahanan politik etnik Cina dan Melayu di dalam dan di luar kamp, dan sejauhmana etnisitas itu mempengaruhi daily politics mereka. Dibebaskannya para tahanan politik bukan berarti bebas dari kontrol, akan tetapi hanya bergeser dari kontrol militer ke kontrol sosial. Bila politik dapat diartikan who gets what and how, maka paper ini akan mencoba menganalisis dinamika daily politics tahanan politik Cina dan Melayu dalam usaha bertahan hidup di bawah kontrol militer dan kontrol sosial yang kuat itu.