This aim of this research was (1) to describe and analyze the existing belief system and supported by the traditional community of Karampuang. In addition, to explore the practice of traditional ceremony (2) to describe the process of policy application in the traditional leadership, and further to find out the influence of belief system in controlling the behavior of Karampuang community member. (3) to know the accurred change by exploring the influence of modern and Islam government towards the privilege of four traditional customs (Ade’ Eppa’e; Arung, Gella, Sanro, dan Guru) in Karampuang.
In this research, it was developed the functional taken from the traditional leaders in viewing the phenomena of Karampuang belief with their traditional government system. The mothod of data collection used depth interview and observation. The obtained data then were analyzed by using the model of descriptive analysis.
The results showed that (1) the community of Karampuang custom had the heredities belief system from the previous generation.The from of belief were implemented in from of ritual which they called Mappogau Hanua consisting of numbers of people, however there were number of small rituals; (2) Ade’ Eppa’e (four traditional custom Leaders) was the legal government structure based on the custom community of Karampuang. The Implementation were conducted by Arung, Gella, Sanro and Guru together in the decision making process which reflected in the wise of in Eppa Aliri Tatepone Hannuae; (3) basically the traditional custom community felt the uncomfortable situation conducted by government particularly and the fundamentalist Moslem positioning their ritual as musrik, however the influence of Ade Eppa’e in the community has the followers which proved by their roukine participation in the implementation of traditional custom ritual both as the parent and the leader who capable to decide the case in the traditional customs of Karampung.
v\:* {behavior:url(#default#VML);} o\:* {behavior:url(#default#VML);} w\:* {behavior:url(#default#VML);} .shape {behavior:url(#default#VML);} Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4 st1\:*{behavior:url(#ieooui) } /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";}
A. Latar Belakang
Masyarakat dan kebudayaan merupakan dua sisi dari satu realitas sosial yang tidak dapat dipisahkan secara dikotomis, terutama dalam gerak dan dinamikanya dari masa ke masa, demikian penting dan berharganya nilai budaya bagi suatu masyarakat sebagai blueprint, sehingga sering ditemukan adanya komunitas tertentu yang tetap defensif dan konsisten terhadap tradisinya sekaligus dijadikan pandangan hidup (Bohannan, Ed., 1988:199). Bahkan eksistensinya tetap mengakar di tengah kerasnya hentakan hegemoni budaya modern dan tetap eksis di tengah pergulatan berebut pengaruh antara nilai-nilai budaya (tradisi) oleh komunitas tertentu, seringkali tampak adanya eksklusifisme yang pada gilirannya melahirkan pengkotak-kotakan budaya berdasarkan ideologi.
Timbulnya kecenderungan masing-masing komunitas mempertahankan nilai-nilai budaya (tradisi) tersebut hingga tetap eksis sampai sekarang pada prinsipnya disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Hal ini dipahami mengingat bahwa hubungan manusia dengan alam termasuk dalam salah satu dari 5 masalah pokok yang dihadapi manusia secara universal yakni persoalan mengenai sifat dasar manusia (human nature), hubungan manusia dengan alam, titik masa yang menjadi perhatian kehidupan manusia, kegiatan manusia, dan hubungan antar manusia dengan sesamanya (Kluckhohn dan Stodbeck, 1961; Marzali, 1998).
Eksisnya suatu tradisi dalam komunitas sebagai salah satu wujud budaya juga karena kepercayaan terhadap nilai-nilai luhur masa lampau dan pengaruh orientasi nilai waktu lampau itu terhadap kehidupan sekarang. Nilai dalam konteks ini merupakan konsepsi, eksplisit atau implisit yang khas milik seseorang atau suatu kelompok, tentang yang seharusnya diinginkan. Nilai tersebut mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara dan tujuan tindakan seseorang atau kelompok (Parson dan Edward Shills Ed., 1956:395; Marzali, 1998:14).
Komunitas Adat Karampuang di Sinjai Sulawesi Selatan, yang menjadi objek penelitian, hingga kini tetap mempertahankan nilai-nilai budaya lokal (tradisi) sehingga menunjukkan kekhasan tersendiri dari komunitas lainnya. Karakteristik tersebut tercermin melalui kehidupan sosial budaya masyarakatnya yang tetap menjadi otoritas tradisional sebagai sumber bagi ukuran baku dari segenap aktivitas keseharian. Dalam tradisi adat Karampuang aktivitas dan kepemimpinan masyarakat berada di tangan 4 (empat) tokoh adat yakni Arung, Gella, Sanro, dan Guru. Keempat elemen ini digambarkan sebagai api tottong arung (api berdiri arung), tana tudang ade (tanah duduk adat), anging rekko sanro (anging membengkokkan sanro) serta wae euju guru (air membersihkan guru). Kolaborasi keempat tokoh ini diberi predikat sebagai aliri tetteppona hanuae (Muhannis, 2002:3).
Ade’ Eppa’E tidak memiliki posisi yang sangat sentral dalam kebudayaan komunitas adat Karampuang. Ia tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap terlaksananya prosesi ritual, tetapi juga memiliki peran sebagai pelaksana pemerintahan tradisional. Untuk itu penelitian ini mengelaborasi sebuah pendekatan baru dalam memahami dinamika ritual kaitannya dengan pelaksanaan pemerintahan tradisional oleh pemangku adat. Dengan demikian pemahaman yang ada tentunya harus diambil dari perspektif pemangku adat terhadap pelaksanaan ritual dan mekanisme pemerintahan tradisional mereka.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini mengungkapkan dan menggambarkan kebudayaan suatu kelompok atau komunitas adat tertentu, dengan menggunakan metode etnografi. Metode ini memiliki tahapan yang lazim digunakan yakni; (1) dimulai dengan memilih permasalahan; (2) mengumpulkan data kebudayaan; (3) menganalisis data kebudayaan; (4) memformulasikan hipotesis etnografis yang diperoleh dari data lapangan; (5) menganalisis data dan menuliskan laporan. Dalam proses penerapannya kelima tahapan tersebut dapat saja dilakukan secara simultan karena mengingat masalah penelitian yang dipilih sifatnya masih kualitatif sehingga dapat saja berubah sesuai dengan kondisi fenomena komunitas setempat setelah kita berada di lapangan.
Penelitian ini dilakukan di Sinjai tepatnya di Dusun Karampuang Desa Tompobulu Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai. Dipilihnya Komunitas Adat Karampuang sebagai subjek penelitian karena beberapa alasan, antara lain: 1) walaupun telah banyak tulisan mengenai Karampuang namun demikian masih sangat kurang studi-studi yang menggunakan paradigma tertentu secara serius, khususnya mengkaji aspek religi dan sikap kepemimpinan tradisional; 2) hingga kini komunitas adat Karampuang tetap mempertahankan nilai-nilai budaya lokal (tradisi) sehingga menunjukkan kekhasan tersendiri dari komunitas lainnya. Karakteristik tersebut tercermin melalui kehidupan sosial budaya masyarakatnya yang tetap menjadikan otoritas tradisional sebagai sumber bagi ukuran baku dari segenap aktivitas keseharian.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik pengamatan disertai alat bantu berupa kamera untuk memotret dan menggambarkan situasi di lapangan. Tidak hanya itu, namun dilakukan juga perekaman terhadap perilaku mereka dalam setiap praktek ritual baik yang dilakukan sendiri-sendiri ataupun dilakukan secara kolektif. Teknik wawancara dengan melakukan serangkaian wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan yang dituntun oleh suatu pedoman wawancara (guide interview) berupa pertanyaan deskriptif, yaitu suatu pertanyaan yang mencari jawaban tentang segala hal yang berhubungan dengan topik penelitian. Studi pustaka untuk menambah kompleksitas pengetahuan terhadap topik yang dikaji dalam studi ini. Pemilihan literatur diseleksi sedemikian ketat dengan memilih referensi yang memiliki relevansi dengan topik studi mengenai religi dan kepemimpinan.
Penelitian ini sifatnya deskriptif-kualitatif, dimaksudkan karena berkaitan erat dengan sifat unik dari suatu realitas sosial dan tingkah laku manusia sebagai anggota komunitas. Sebagai model penelitian partisipasi, maka analisis data dilakukan seiring dengan kegiatan penelitian tanpa memisahkan waktu. Keseluruhan data yang dikumpulkan dianalisis pada tingkat reduksi data dengan model analisis deskriptif.
D. Komunitas Adat Karampuang Di Kabupaten Sinjai
1. Kondisi Geografis
Kabupaten Sinjai adalah salah satu dari 23 Kabupaten dalam Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di pantai Timur bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan. Jaraknya sekitar 223 km dari Kota Makassar (Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan). Kabupaten Sinjai memiliki luas 819.96 km, terdiri dari delapan Kecamatan definitif dengan jumlah desa sebanyak 63 buah, 13 kelurahan definif, 6 buah desa/kelurahan persiapan, dan 323 buah dusun/lingkungan. Melihat kondisi alamnya dapat dikatakan bahwa daerah ini memiliki tiga dimensi karena meliputi alam pegunungan, alam pantai dan pulau-pulau. Letak wilayah antara 5° 19.50 sampai 5° 36.47 Lintang Selatan dan antara 199° 481.30 sampai 120° 1000°, Bujur Timur (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai, 2005).
Khusus kondisi geografis kampung Karampuang terletak di atas pegunungan dengan ketinggian sekitar 618 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 75 mm dan suhu udara rata-rata 23° C. Untuk mencapai kampung ini dapat menggunakan kendaraan roda dua dan empat dan melalui jalan beraspal yang sempit di lereng-lereng gunung dengan tikungan yang tajam. Kondisi geografis ini memungkinkan masyarakatnya lebih banyak mencari penghidupan di sektor perkebunan. Sementara di sektor lain, seperti kepegawaian, jasa, pertukangan dan industri amatlah kurang. Hal ini disebabkan antara lain, rendahnya kualitas sumber daya manusia karena keterbelakangan pendidikan.
2. Kondisi Demografis
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sinjai Tahun 2005, jumlah penduduk yang mendiami kabupaten ini sebanyak 220.430 yang terdiri atas 105.853 orang penduduk laki-laki dan 114.477 penduduk perempuan dengan laju pertumbuhan 1,04 persen. Keseluruhan jumlah penduduk tersebut menempati wilayah yang luasnya 819.96 km atau 1,25 persen dari luas wilayah daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
3. Sejarah Masyarakat
Hingga kini komunitas Karampuang tetap mempertahankan tradisi dan kebudayaan yang mereka miliki. Dalam mengatur pemerintahan mereka masih menggunakan tipologi kepemimpinan tradisional sebagaimana diketahui bahwa mereka memiliki Ade’ Eppa’E (adat empat) yaitu Arung atau Tomatoa (raja atau yang dituakan), Gella (pelaksana tugas raja), Sanro (dianggap sebagai orang pintar dan mereka berjenis kelamin perempuan). Dan Guru (orang yang melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam). Di samping itu mereka juga tetap konsisten mempertahankan tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang seperti, Mappatinro Henne (menidurkan benih; acara adat sebelum menanam padi), mabbissa lempu) (mencuci lumpur; acara adat ketika proses menanam padi selesai) ataupun attudang sipulung pallaoromae (duduk bersama; acara adat setelah panen padi selesai bisa pula disebut dengan ammanre ase lolo).
Komunitas adat Karampuang terletak di Desa Tompobulu Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. Daerah ini sebenarnya bertetangga dengan Desa Bana Kecamatan Bontocani. Daerah ini masuk bagian wilayah Kabupaten Bone. Meskipun demikian bahasa Bugis yang digunakan komunitas Karampuang ini tidak sama persis dengan bahasa Bugis Bone, dan sebagian masyarakatnya malah menggunakan bahasa Makassar dengan logat Sinjai Barat (Manipi).
Karampuang secara terminologi berasal dari Karaeng dan Puang. Keduanya menunjuk dua entitas dari dua kerajaan di Sulawesi Selatan dahulu yaitu Gowa dan Bone. Sehingga diduga daerah ini merupakan daerah di bawah dua naungan kerajaan; Gowa dan Bone. Karena itulah, sehingga pakaian resmi dua pemangku adat yaitu Arung (Tomatoa) dan Gella mencirikan dua kerajaan ini. Tomatoa memakai songko guru (songkok khas raja Bone) sedangkan Gella memakai passapu (ikat kepala khas kerajaan Gowa). Tetapi menurut Tomatoa (arung) Puang Tola, kata Karampuang sebenarnya muncul dari kata Kamarampulu yang berarti bulu-bulu meremang. Maksudnya pada saat itu ketika Tomanurung pertama yang kebetulan seorang perempuan turun di Karampuang, makhluk yang ada di sekitar daerah itu merasakan bulu-bulunya meremang. Secara simbolik situasi ini menunjukkan bahwa telah muncul makhluk luar biasa di sekitar daerah tersebut (Muhannis, 2001).
4. Upacara Adat Mappugau Hanua
Upacara adat Mappogau Hanua (Pesta Kampung) adalah merupakan suatu upacara adat terbesar yang dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat pendukung kebudayaan di Karampuang. Upacara tersebut berlangsung sangat meriah, diikuti oleh ribuan orang dan dipusatkan dalam kawasan adat. Upacara tersebut berlangsung dalam beberapa tahapan.
Komunitas Adat Karampuang memiliki beberapa upacara adat yang terbagi dalam empat kategori besar dengan masing-masing memiliki penanggung jawab. Dalam pesan leluhurnya ada ungkapan yang mengatakan “Mappogau Hanua Arungnge, Mabbissa Lompui GellaE, Makkaharui SanroE, Mattula Balai GuruE”. Dengan demikian, maka segala ritual yang berhubungan dengan hal-hal sakral dan berhubungan dengan dewa-dewa atau orang-orang suci, keramat menjadi bagian tanggung jawab Tomatoa atau Arung, segala ritual yang berhubungan dengan masalah tanah, pertanian serta kehidupan rakyat banyak maka yang menjadi penanggung jawabnya adalah Gella. Upacara yang berhubungan dengan kesejahteraan, kesehatan warga menjadi tanggung jawab Sanro, sementara itu, upacara keagamaan menjadi tanggung jawab Guru. Tetapi dalam proses adat Mappogau Hanua yang berdimensi sangat luas dan memiliki makna yang bermacam-macam pula, maka dalam pelaksanaannya juga melibatkan jabatan-jabatan lain dalam pelaksanaannya. Arung atau Tomatoa hanya memimpin ritual tertinggi yakni di dalam emba.
Adapun urutan-urutan pelaksanaan upacara adat Mappogau Hanua adalah sebagai berikut:
1. Mabbahang adalah musyawarah adat yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Inti acara ini adalah Mattanra Esso yakni menemukan hari H pelaksanaan upacara adat. Dalam penentuan hari, hanya ada dua hari yang dianggap baik yakni hari senin dan kamis sesuai dengan perhitungan adat mereka.
2. Mappaota adalah sebuah ritual permohonan izin atau restu untuk melaksanakan upacara adat yang tergolong akbar ini.
3. Mabbaja-baja adalah kewajiban seluruh warga untuk membersihkan pekarangan rumah, menata rumah, membersihkan sekolah, pasar, jalanan, sumur, dan yang paling penting adalah lokasi upacara.
4. Menre ri Bulu adalah ritual yang dilaksanakan di atas gunung dengan diawali prosesi yang rumit. Malam hari menjelang pelaksanaannya, seluruh bahan dan alat serta perangkat dan pelaksanaan sudah dinyatakan siap termasuk makanan yang akan disantap oleh para tamu yang datang.
5. Mabbali Sumange, ritual ini biasa juga disebut dengan Massulo Beppa adalah suatu acara di mana masyarakat setempat menyiapkan kue tradisional yang dibuat khusus, serta menyiapkan daun-daunan untuk pembuatan obat tradisional kepada seluruh warga pendukung kebudayaan tersebut.
6. Malling. Tahapan terakhir dari upacara adat ini disebut dengan malling atau berpantang yang dimulai tiap hari setelah acara bali sumange.
5. Ritual Maddui
Rumah adat secara simbolik dan fungsional diposisikan sebagai istana dan legitimasi atas eksistensi komunitas mereka atas kerajaan-kerajaan lainnya. Artinya rumah adat dijadikan sebagai media komunikasi penjelas bagi kerajaan lain yang ada untuk menjelaskan keberadaan mereka sekaligus mempertegas kedaulatan mereka atas suatu wilayah. Sehingga tidak salah kemudian mereka pun secara kolektif dengan pemimpin adat mereka memelihara keberadaan rumah adatnya.
Rumah adat dianggap sebagai milik bersama dan tentunya harus dipelihara bersama, dan untuk memperbaikinya diwajibkan kepada setiap anggota komunitas adat tanpa memandang status sosial dan tingkatan kepemilikan ekonomi. Ketika pemahaman kita tarik dari sudut fungsional maka kita akan menemukan proses maddui ini dilakukan secara bersama-sama guna memudahkan proses pemindahan kayu dengan diameter yang cukup besar. Tetapi ketika pemahaman kita tarik dari sudut simbolik dan orientasi spirit yang ingin ditumbuhkan, maka proses maddui ini sengaja tidak dilakukan dengan menggunakan mobil untuk kondisi kekinian karena untuk menumbuhkan sebuah semangat kebersamaan atau persatuan. Bahkan ada kesadaran di antara mereka mengatakan bahwa dengan melakukan maddui sebagai satu-satunya proses memindahkan bahan baku untuk rumah adat tersebut, maka seluruh warga pendukung kebudayaan tersebut dapat berpartisipasi tanpa terkecuali, termasuk orang lemah, orang tua bahkan anak-anak sekalipun. Tetapi ketika proses yang ditempuh adalah dengan memikul, maka yang terjadi adalah ketidakadilan atau ketidakmerataan, karena hanya orang yang lebih kuat sajalah yang dapat berpartisipasi, dan juga memiliki banyak resiko termasuk tertimpa kayu.
Maddui masuk dalam kosa kata bahasa Bugis, dan secara terminologi diartikan sebagai menarik sesuatu dari satu posisi ke posisi lain yang diinginkan. Dalam proses ritual adat Karampuang yang dimaksudkan adalah proses menarik sebatang kayu yang diperuntukkan bagi rumah adat. Kayu tersebut nantinya akan digunakan untuk mengganti bagian tertentu di rumah adat yang telah mengalami kerusakan, seperti tiang, panampa, palungeng dan pareha leppa lainnya.
Dalam proses menarik kayu tersebut, tentu tidak sekedar menarik saja, tetapi diselingi dengan nyanyian yang berisi syair-syair indah yang khusus diperuntukkan pada proses maddui yang dikenal dengan Elong Padduik, dan bagi sejumlah orang di sinilah keunikan acara tersebut, bahkan dewasa ini sudah diposisikan sebagai atraksi budaya yang dapat disajikan kepada wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara.
6. Ade’ Eppa’E: Sistem Pemerintahan Tradisional Semi Modern
Dalam konsepsi sejumlah orang, bahkan beberapa peneliti boleh jadi menempatkan komunitas adat Karampuang sebagai masyarakat tradisional ataupun masyarakat primitif dengan berbagai kondisi yang melingkupinya. Hal itu dalam beberapa hal sah-sah saja, karena kita dalam melihat mereka selalu memperbandingkan antara budaya modern yang serba digital dengan kehidupan mereka yang masih sangat sederhana. Kita selalu menilai mereka dengan menggunakan nilai atau kacamata pembesar yang kita miliki, dan akhirnya dapat dipastikan sangat sulit keluar dari pelebelan yang boleh jadi negatif terhadap mereka, salah satu konsep di antaranya adalah pelebelan konsep ”Primitif”.
Tetapi pernahkah kita mencoba melihat secara berbeda dengan mencoba menarik, walaupun satu dimensi untuk (walaupun sekedar kagum) melihat kemajuan yang telah dicapai pada masa ilmu pengetahuan belum berkembang dengan pesat. Hal itu dapat kita lihat pada dimensi sistem pemerintahan yang mereka kembangkan secara kontekstual. Sistem pemerintahan Ade’ Eppa’E dapatlah dikatakan sebagai sistem pemerintahan yang sudah cukup maju pada saat itu. Disusunnya sejumlah jabatan-jabatan adat yang diduduki oleh seorang pemangku adat mengindikasikan bahwa pada saat itu, komunitas Karampuang sudah memiliki model manajemen yang baik.
Pembagian kerja tersebut sudah mencerminkan sebuah sistem kerja yang apik, berkualitas, dan itu berarti sistem pemerintahan yang mereka jalankan sudah cukup maju (kalau dapat dikatakan sudah modern). Beberapa ciri yang dapat menjelaskan bahwa sistem pemerintahan dan manajemen mereka sudah cukup maju adalah, (1). Adanya Pembagian kerja: pembagian jabatan pada dasarnya belum begitu kompleks hal itu dapat dilihat misalnya dari jabatan-jabatan yang ada antara lain, Arung, Gella, Sanro, Guru, Ana Arung, Pinati. Namun kesederhanaan struktur pemerintahan pada masa itu pada dasarnya adalah konsekuensi logis dari dinamika sosial yang belum begitu kompleks. Kebutuhan-kebutuhan akan sesuatu pada saat itu juga belum terlalu banyak. Begitu juga dinamika dan tantangan yang ada dalam mengurus komunitas dengan kondisi seperti di Karampuang pada zaman dahulu boleh jadi belum banyak masalah; (2) Efektifitas dan Efisiensi: dengan adanya pembagian kerja seperti itu dalam Ade’ Eppa’E tentunya dapat memenuhi nilai efektifitas dan efisiensi. Mereka akan mengerjakan secara maksimal setiap kegiatan yang telah diperuntukkan dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya saja dalam proses Mappogau Hanua, hal itu dapat berjalan secara serentak sesuai dengan mekanisme adat yang ada; (3) Profesionalisme; artinya setiap orang yang duduk dalam satu posisi adat betul-betul melaksanakan tugas dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab. Mereka juga menduduki posisi tersebut dengan mempertimbangkan kemampuan dan ilmu yang dimiliki. Sehingga tidak salah ketika terjadi proses pergantian pada salah satu posisi dalam Ade’ Eppa’e dan mereka lebih banyak memilih orang-orang terdekatnya yang pernah menjadi pemangku adat, misalnya saja anak-anaknya, karena mereka cukup yakin bahwa selama orang tuanya menjadi pemangku adat tentunya juga terjadi proses enkulturasi terhadap mereka dari pengalaman orang tunya selama menjadi pemangku adat.
7. Sanro: Sistem Pemerintahan yang Sadar Gender
Ade Eppa’E yang merupakan struktur sekaligus sistem pemerintahan yang ada di Karampuang yang digerakkan dalam konteks religiusitas. Dari keempat bagian jabatan adat yang ada, tidak semuanya digerakkan oleh mereka yang berjenis kelamin pria. Hal ini mengisaratkan bahwa sistem pemerintahan tersebut pada prinsipnya sudah memberikan ruang bagi kategori gender lain (wanita) untuk turut serta tidak hanya sebagai pendukung dan atau pelengkap dalam setiap prosesi ritual seperti yang biasa kita temukan di tempat-tempat lain, di mana perempuan dalam setiap kali ritual tidak ubahnya seperti perlengkapan sesajian yang lain yang diperuntukkan baik untuk raja atau pemimpin adat lainnya. Hal yang berbeda yang kita temukan di Karampuang, adalah adanya pos khusus dalam Ade’ Eppa’E tersebut yang harus diisi oleh seorang perempuan.
Posisi sebagai Sanro dalam Ade’ Eppa’E yang diberikan kewenangan memimpin suatu upacara ritual di Karampuang tentunya menjadi sesuatu hal yang menarik. Artinya Karampuang sebagai sebuah komunitas adat tradisional sudah menyadari persamaan gender. Walaupun demikian ketika dicermati kuota yang diberikan tidaklah seimbang, namun bagi rasionalisasi mereka hal ini tentunya sudah sangat ideal dari segi politik, dan dari segi religi adalah sesuatu yang mesti dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab dan keyakinan yang kuat.
Bahkan dalam proses ritual Mappugau Hanua peran Sanro yang berjenis kelamin perempuan tersebut sangat banyak dan hampir dominan, lebih dari itu sejumlah prosesi ritual hampir semuanya melibatkan Sanro. Walaupun Sanro berjenis kelamin perempuan masyarakat sangat menaruh hormat kepadanya. Apatah lagi ketika di antara anggota komunitas adat Karampuang ada yang mengalami sakit, maka menjadi tugas dari Sanro untuk datang mengobati warganya.
Walaupun sendiri dalam struktur Ade’ Eppa’E, tetapi Sanro memiliki pengaruh yang kuat. Dan secara adat telah digariskan bahwa keputusan yang sifatnya sangat prinsip tidak boleh diambil tanpa melibatkan secara keseluruhan pemangku adat. Dengan begitu posisi politis Sanro dalam sistem pemerintahan di Karampuang cukup kuat dan memiliki wibawa tersendiri.
8. Sistem Kepercayaan Sebagai Suatu Mekanisme Kontrol dalam Pemerintahan Tradisional.
Sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Karampuang pada dasarnya masih bercirikan animisme. Hal itu dapat kita lihat dari pelaksanaan ritual Mappugau Hanua yang dilaksanakan setiap tahunnya. Mereka melakukannya karena adanya keyakinan terhadap roh-roh para leluhur atau nenek moyang mereka dan kepercayaan atas dewa-dewi atau penguasa suatu tempat.
Ketika dilihat dari segi keyakinan, maka pelaksanaan ritual yang mereka lakukan tentunya didasari oleh keyakinan transendental mereka atas keberadaan roh-roh nenek moyang mereka, bahwa mereka harus selalu berinteraksi dengan para leluhurnya melalui media ritual, karena mengingat mereka sudah berlainan alam. Dan untuk mewujudkan itu prosesnya harus dipimpin oleh seorang yang memiliki kemampuan khusus untuk itu. Dalam komunitas Karampuang dapat kita temukan ritual yang menjadi media tersebut adalah Mappuhau Hanua yang dipimpin oleh pemimpin ritual yang telah diberikan tugas khusus oleh Adat, mereka itu adalah Puang Tomatoa, Gella, Sanro, dan Guru. Dari kacamata anggota komunitas adat Karampuang yang menjadi pendukung dari ritual tersebut tentunya akan melaksanakan dengan penuh keyakinan dan loyalitas, termasuk loyalitas dan ketundukan terhadap pemimpin upacara.
Masyarakat akan dengan setia menyediakan segala sesuatu yang menjadi bahan pelengkap dalam ritual yang dikatakan oleh pemangku adat di atas legitimasi adat. Mereka tidak mampu dan tidak memiliki keberanian melakukan penentangan terhadap apa yang tidak bisa mereka lakukan, karena dibalik pelaksanaan ritual tersebut terdapat sangsi yang membingkai mereka yang melakukan pelanggaran terhadap ritual tersebut. Karena ritual tersebut juga merupakan aturan adat. Dan bila seseorang melakukan pelanggaran, maka mereka akan mendapatkan sangsi. Dan sangsi tersebut tentunya cukup represif pada setiap orang, sehingga mereka tidak cukup berani untuk melakukan prilaku yang deviant terhadap pranata yang ada.
Dari beberapa penelitian, hampir semua mengangkat masalah proses ritual melihat dari kacamata keyakinan seperti di atas, sehingga ritual tersebut akhirnya selalu diposisikan pada level normatif yang sakral.
Pertanyaannya kemudian adakah peluang untuk melihat ritual pada dimensi lain. Selama penelitian ini dikembangkan ditemukan adanya suatu pendekatan lain dalam melihat ritual yang dilaksanakan oleh komunitas adat Karampuang. Pendekatan yang dimaksudkan adalah melihat proses ritual dari sudut pandang pemangku adat sebagai pemegang keputusan dan kekuasaan atas sistem pemerintahan yang ada di Karampuang. Namun perlu dijelaskan bahwa para pemangku adat tersebut pada dasarnya tidak menyadari atau menyadari tetapi tidak berani mengatakan karena itu berarti kekuasaan mereka akan terganggu. Untuk menemukan itu maka menjadi tugas peneliti mengkonstruksi model dengan tentunya tetap berdasarkan pada rangkaian data yang ada di Karampuang.
Sama halnya dengan penjelasan Muhannis terhadap keberadaan Tomanurung yang merupakan skenario dari kerajaan-kerajaan di Jawa. Maka ritual yang dilakukan oleh komunitas adat Karampuang selama ini juga merupakan skenario rasional yang dikembangkan oleh pemangku adat pada saat itu untuk menjadikan sebagai alat kontrol terhadap kestabilan sistem pemerintahan yang mereka kembangkan sekaligus sebagai aparatus untuk menjaga keteraturan sosial.
Ritual dalam hal ini diposisikan sebagai alat perekat sekaligus sebagai senjata untuk menjaga kekuasaannya dari gangguan ide-ide yang dianggap dapat melengserkannya. Untuk itu pertama-tama dibuatlah keputusan bahwa pemangku adat tidak boleh diganti kecuali meninggal dunia. Untuk menguatkan maka dibuat aturan pendukung bahwa posisi Ade’ Eppa’E merupakan pengejawantahan dan mendapat legitimasi dari kekuatan yang lebih besar lagi, baik itu dewa-dewa atau roh-roh nenek moyang mereka. Sama halnya ketika mengatakan bahwa raja adalah perwujudan dewa yang ada di atas muka bumi ini.
Untuk menyegarkan dan memvitalkan loyalitas dan keyakinan anggota komunitas adat Karampuang, maka dibuatlah suatu acara ritual yang mereka sebut dengan Mappogau Hanua. Kita bisa melihat Mappogau Hanua pada saat dulu dihadiri oleh umumnya oleh masyarakat adat Karampuang. Mereka hadir dengan mendengarkan pukulan batu gong yang ada dalam kawasan adat Karampuang.
Posisi ritual ini sendiri dengan berbagai sangsi yang menyertainya dan pada prinsipnya sama dengan posisi tentara atau pihak keamanan yang ada dalam konsepsi negara modern, yang bertugas menjaga kestabilan suatu masyarakat. Yang membedakan antara tentara dengan ritual adalah pada reelnya aparat negara yang ada pada sistem pemerintahan modern, sementara pada sistem pemerintahan adat Karampuang berada pada level keyakinan. Untuk mengukur keyakinan dan loyalitasnya maka mereka harus melakukan suatu proses upacara. Dengan begitu para pemimpin adat dapat mengetahui dan mengontrol masyarakat yang tidak memiliki loyalitas terhadap mereka. Dan apabila ada yang berlaku demikian maka penerapannya adalah, sangsi sosial. Masyarakat pada umumnya pun menerima sebagai sebuah keharusan, dan menyerahkan sepenuhnya kepada pemangku adat, karena mereka meyakini bahwa apa yang diputuskan oleh pemangku adat adalah sesuatu yang benar dan patut ditaati, bukankah mereka mendapat legitimasi transendental dari kekuatan yang lebih besar dalam hal ini pengakuan dari dewa-dewa atau roh-roh nenek moyang mereka, yang kesemuanya itu berada pada wilayah keyakinan mereka.
9. Resistensi dan Akulturasi Sistem Pemerintahan: Pengaruh Pemerintahan Modern dan agama Islam.
Sebagai suatu lembaga adat tradisional yang hanya berlaku dalam suatu kawasan yang sangat sempit maka cenderung lembaga ini menghadapi tantangan di masa depan. Tantangan yang muncul adalah karena jumlah penduduk semakin banyak dengan beragam sentuhan-sentuhan budaya lain.
a. Pengaruh Pemerintahan Modern
Pemerntahan modern yang berlaku pada komunitas adat Karampuang ternyata tidak cukup signifikan mengganggu loyalitas mereka terhadap pemerintahan Ade’ Eppa’e, karena pemerintahan Ade’ Eppa’e tetap dapat dijalankan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh persepsi pihak pemerintah NKRI terhadap komunitas adat Karampuang dengan berbagai dimensi sebagai bagian dari masyarakat Indoneisa. Dan apa yang mereka lakukan tidak lebih dari sebuah fenomena religi.
Kondisi seperti ini pada dasarnya adalah sesuatu yang positif, karena konflik tentunya tidak akan muncul karena adanya interpretasi dominan atas sesuatu. Bahkan sejauh ini khususnya pemerintah Kabupaten Sinjai menjadikan wilayah adat Karampuang sebagai wilayah yang harus dilindungi dan dijadikan sebagai asset dalam dimensi pariwisata. Ritual yang dilakukan oleh komunitas adat Karampuang dijadikan sebagai penarik tersendiri pada wisatawan untuk menarik mereka masuk ke Sinjai dan hal ini tentunya memiliki konsekuensi menguntungkan dari segi uang.
Bahkan dalam kondisi tertentu, seperti pemilu, tidak jarang pemangku adat menjadi target politik untuk didatangi demi mendapatkan suara, khususnya dari komunitas adat Karampuang. Mereka yang bertarung dalam pemilu tentunya sangat menyadari bahwa wibawa pemangku adat cukup besar menggiring masyarakatnya untuk memilih apa yang menjadi pilihan pemangku adat.
b. Pengaruh Islam
Islam pada dasarnya sudah terintegrasi ke dalam Ade’ Eppa’e sejak posisi adat Guru sudah dimasukkan sebagai pemangku adat. Karena posisi Guru di situ juga bertugas untuk menyebarkan agama Islam. Hal lain adalah hampir semua simbol-simbol khususnya dalam pembuatan rumah adat penuh dengan makna yang Islami. Dengan demikian Islam memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kearifan budaya Karampuang.
Tetapi belakangan ini, komunitas adat Karampuang pernah mengalami pengalaman pahit dengan beberapa orang yang mengaku Islam, menginterpretasi ritual adat Karampuang sebagai sesuatu yang menyimpan dari ajaran agama Islam. Mereka dengan keras menentang dan bahkan menurut informasi Puang Gella, pernah ada rencana untuk menyerang komunitas tersebut demi menghentikan proses ritual yang dilakukan, namun hal itu tidak pernah terwujud.
H. Penutup
Salah satu bentuk tradisi dan budaya komunitas adat Karampuang yang masih tetap pelihara adalah sistem kepercayaan mereka. Sistem kepercayaan yang mereka yakini dalam hal ini relatif sama dengan animisme. Mereka masih mempercayai adanya kekuatan dan hubungan yang perlu dijaga dengan roh-roh nenek moyang mereka. Dan uniknya karena masyarakatnya umumnya sudah mengaku menganut agama Islam. Sementara apa yang sering mereka lakukan seperti pemberian sesajen di bawah pohon besar adalah sesuatu yang sangat dilarang dalam ajaran Islam. Pada dasarnya mengetahui, namun mereka juga meyakini bahwa praktek ritual yang diwarisi dari nenek moyangnya bukanlah suatu yang menyimpan terhadap ajaran Islam, karena dalam pelaksanaannya juga banyak digunakan nilai-nilai yang sifatnya Islami.
Sejauh penelitian ini dikembangkan ditemukan dan telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan lebih awal, yaitu:
- Sistem kepercayaan yang diyakini komunitas adat Karampuang adalah sistem kepercayaan animisme. Mereka sangat loyal terhadap keyakinan tersebut dan ada sebuah ketakutan tersendiri ketika tidak turut serta mendukung ritual dari sistem kepercayaan mereka. Dan dalam proses pelaksanaan ritual yang mereka yakini tersebut dilakukan dengan berbagai macam ritual. Sejatinya ritual yang dilakukan merupakan suatu persembahan kepada roh-roh nenek moyang mereka. Namun demikian makna yang paling mendalam terhadap keyakinannya, khususnya ritual Mappogau Hanua dimaknai sebagai suatu manipestasi dari penghambaan dan ucapan terima kasih terhadap para leluhurnya dan kekuatan transendental lainnya. Di samping itu juga menjadi sebentuk permohonan baru agar ke depan kehidupannya jauh lebih baik daripada yang ada pada saat itu.
- Penerapan kebijakan pada komunitas adat Karampuang diatur dalam mekanisme pemerintahan Ade’ Eppa’e. Di dalam struktur tersebut terdapat pemangku adat masing-masing Arung, Gella, Sanro, dan Guru yang bertugas menjalankan mekanisme adat. Segala kebijakan yang akan ditempuh dilakukan secara bersama-sama pemangku adat tersebut. Termasuk pelaksanaan ritual, proses peradilan, dan berbagai hal yang berdimensi sosial-religius. Dalam aturan adat setiap pengambilan tidak boleh dilakukan ketika salah satu dari pemangku adat tidak hadir. Serta dalam pengambilan keputusan senantiasa memperhatikan hal-hal yang digariskan secara adat seperti tidak dalam keadaan marah, mengantuk. Dalam penelitian ini juga ditemukan, bahwa pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh komunitas adat Karampuang pada prinsipnya juga dijadikan sebagai satu mekanisme kontrol terhadap loyalitas dan integrasi masyarakat sehingga dapat menciptakan keteraturan sosial (social orde).
- Pengaruh pemerintahan modern dengan ajaran agama Islam pada dasarnya tidak mengganggu secara signifikan wibawa adat. Bahkan proses ritual yang mereka lakukan mendapatkan legitimasi dari pemerintah, hal itu dapat dibuktikan dengan hadirnya pejabat Kabupaten Sinjai seperti: Bupati, DPR dan Sekda pada setiap acara, misalnya acara ritual Mappogau Hanua.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Gella Puang Mangga. Tuhan Bagi Kami Tidak Bertempat. Makassar: Laporan Penelitian LAPAR.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai, 2005. Sinjai Dalam Angka.
Basrah. 2005. Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan “Hutan Berbasis Masyarakat” di Kawasan Hutan Adat Karampuang. Makassar. Pascasarjana Unhas.
Bodgan, Ribert and Tylor J. Steven. 1993. Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Bohannan, Paul, Ed. 1988. High Point in Anthropology. New York: Alfred A. Knopf, Inc.
Hamid, Abu. (Tanpa.Thn). Suatu Pedoman Teknik Penyusunan Questioner dan Teknik Wawancara: Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.
Kluckhohn dan Stodbeck. 1961. Variation in Value Orientation. Evanston, Illinois: Row, Peterson & Co. 1961.
Maleong, J. Lexy. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Marzali, Amri. 1998. Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan di Indonesia: Sebuah Essai dalam Rangka Mengenang Almarhum Prof. Koenjtaraningrat. Antropologi Indonesia, 57 (XXII), hlm. 18.
Muhannis. 2001. “Rahasia Rumah Adat Karampuang di Sinjai, Bangunan Bersimbol Wanita Anggun.“ Ujung Pandang: Surat Kabar (Fajar) Minggu, 4 Maret 2001.
Muhannis. 2002. Harapan dan Tantangan Lembaga Adat Karampuang. Makalah disampaikan pada Festival dan Seminar Internasional La Galigo Barru, Maret 2002.
Muhannis. 2004. Upacara Adat Mappogau Hanua: Tradisi Magalitik dalam Kawasan Adat Karampuang Kabupaten Sinjai. Makassar: Balai Kajian Sejarah dan nIlai Tradisional Bekerjasama dengan UNHAS.
Parson, Talcot dan Edward Shills Ed. 1965. Toward A General Theory of Action. New York: Harper & Row.
Penulis: Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";} Darman Manda Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan PPs Universitas Negeri Makassar