Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan pada umumnya dan Kerajaan Bone pada khususnya melakukan penguasaan melalui ekspansi dan ekspedisi militer. Ekspansi tersebut dilakukan pada awal abad XX, tidak lama setelah pidato ratu Belanda yang berkaitan dengan ”Politik Etis”. Ekspansi ini lebih dikenal dengan sebutan ”Ekspedisi Militer Belanda 1905” pada masa Gubernur Jendral J.B. van Heutsz menggantikan Gubernur Jendral W. Roosemboom pada tahun 1904, ia melaksanakan satu kebijaksanaan baru ke arah penguasaan daerah jajahan yang lebih intensif, dengan tujuan agar dapat menguasai secara langsung seluruh wilayah jajahan. Oleh karena itulah penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan yang pada waktu itu yang berkedudukan sebagai kerajaan sekutu dipandang sebagai usaha untuk menciptakan ”ketertiban dan ketenteraman” (rust en orde)
Untuk mewujudkan kebijaksanaan Van Heutsz ini, dipersiapkan pasukan pendudukan untuk menaklukan dan memaksa kerajaan-kerajaan yang pada waktu itu masih berkedudukan sebagai kerajaan sekutu atau apa yang oleh Pemerintah Belanda disebut zelfbesturende landaschappen, agar tunduk dan takluk sepenuhnya di bawah Pemerintahan Hindia Belanda.
Sehubungan dengan itu, artikel ini akan mengungkapkan, menganalisis dan memahami berbagai macam persoalan berkaitan dengan latar belakang di atas. Pertanyaan kemudian mengemuka adalah apa yang menjadi alasan Pemerintah Belanda harus melakukan tindakan militer terhadap Kerajaan Bone, serta bagaimana tanggapan raja dan para pembesar Kerajaan Bone terhadap rencana tersebut.
Alasan Dilakukannya Ekspedisi Militer 1905
Menjelang akhir abad XIX dan tepatnya dekade kedua akhir abad XIX ini, Pemerintah Hindia Belanda mencapai kemajuan yang pesat dalam bidang perdagangan. Di Sulawesi Selatan sendiri, sebagai daerah yang memiliki beberapa pelabuhan penting dan merupakan rute pelayaran perdagangan bagian Timur Indonesia sangat ramai dan termasuk pelabuhan tersibuk. Disamping pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan transito yang sangat ramai, juga didukung oleh pelabuhan-pelabuhan daerah yang memiliki komoditas tersendiri dan bahkan masuk kategori rute pelabuhan pelayaran perdagangan yang berlangsung beberapa abad, seperti pelabuhan Bantaeng, Pare-pare, Selayar, Ternate, Buton dan lain-lain. Tetapi pelabuhan- pelabuhan itu masih banyak dikuasai oleh raja- raja lokal walaupun kemudian masuk dalam pelayaran NISM (Nderlandsch Indische Stoomboot Maattschappij) (Perusahan Pelayaran Kapal Api Hindia Belanda) milik Pemerintah Hindia Belanda (Ahimsa, 1993).
Eksploitasi kolonial Belanda memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Dibalik keuntungan yang diperoleh Hindia Belanda, rakyat tanah jajahan mengalami penderitaan yang hebat. Keadaan ini merangsang segolongan orang Belanda yang dipengaruhi ide moral untuk memperbaiki kembali kedudukan penduduk jajahan yang dikatakan ”kurang sejahtera” (minder welvaart). Muncullah protes-protes dari golongan di luar perlemen terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Mereka menghendaki agar Pemerintah Belanda sadar akan pertanggungjawaban moral terhadap rakyat tanah jajahan yang menderita di atas keuntungan Pemerintah Belanda. Kritik dan protes mereka mendapat tanggapan positif dari pemerintah. Ini jelas dalam ”Pidato Takhta” (Troon Rede) tahun 1902. Berdasarkan Pidato Tahta inilan Pemerintah Hindia Belanda beralih ke ”politik etis” (ethische politiek) dan Van Deventer menelorkan ide yang dikenal dengan ”trias Van Deventer” yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi (Poelinggomang, 2004).
Kenyataan menunjukkan bahwa ide politik baru ini tidak terselenggara dengan baik karena wali-wali berbangsa Belanda semakin meningkat. Disamping itu karena Pemerintah Hindia Belanda sangat kewatir posisinya akan terancam jika orang-orang pribumi semakin cerdas. Maka Politik Etis tersebut dilaksanakan dengan setengah hati, dan bahkan dalam pelaksanaannya tetap mengutamakan kepentingan Kolonial Belanda. Di Bone sendiri didirikan sekolah, baik sekolah untuk rakyat maupun sekolah golongan asing (Ahimsa, 1993: 142).
Seiring dengan pelaksanaan Politik Etis yang menyebabkan banyak orang Indonesia sadar akan dirinya sebagai sebuah bangsa yang sedang terjajah. Hal inilah sebagai salah satu sebab yang membuat Belanda merasa sangat khawatir dan berusaha mengambil suatu tindakan imprealisme secara menyeluruh untuk wilayah Indoneisa (Hindia Belanda). Keberhasilan Belanda menguasai Sulawesi Selatan secara politik pemerintahan dan sistem perdagangan maritim tidak bisa dilepaskan dari ekspansi yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan pada umumnya dan Bone pada khususnya. Ekspansi tersebut dalam rangka penguasaan langsung seluruh Indonesia. Sebenarnya penguasaan langsung untuk wilayah Sulawesi Selatan telah dilakukan VOC (sebut saja Belanda) sejak Perang Makassar (1666- 1669). Tetapi penguasaan langsung tersebut tidak berjalan baik karena VOC harus berbagi dengan Kerajaan Bone (peranan Arung Palakka) yang membantunya menaklukkan Kerajaan Gowa yang memegang supreamsi politik dan ekonomi bagian Indoneisa timur. Memasuki dekade pertama abad XX, Belanda merasa perlu untuk menguasai seluruh Indonesia (Hindia Belanda) di bawah satu kekuasaan, yaitu kekuasaan Hindia Belanda (orang- orang Belanda). Hal ini dilakukan karena masih banyak kerajaan di Indonesia belum dikuasai secara langsung, sementara tanah jajahan di luar Indonesia sudah berhasil dikuasai penuh oleh negara induknya seperti Inggris di Malyasia. Hal itu pulalah yang menjadi kekewatiran yang selalu membayang- bayangi Belanda atas kekuatan dan kekuasaan Inggris di sekitarnya.
Kenyataan tersebut menjadi persoalan tersendiri bagi Belanda pada awal abad XX, dan tidak lama setelah pidato ratu Belanda yang berkaitan dengan Politik Etis, Belanda merancan suatu program untuk melakukan ekspansi ke seluruh Indonesia. Khusus ekspansi ini di Sulawesi Selatan lebih dikenal dengan sebutan ”Ekspedisi Militer Belanda” pada tahun 1905 pada masa Gubernur Jendral J.B. van Heutsz menggantikan Gubernur Jendral W. Roosemboom pada tahun 1904, ia melaksanakan satu kebijaksanaan baru ke arah penguasaan daerah jajahan yang lebih intensif, dengan tujuan pokok adalah menguasai secara langsung seluruh wilayah jajahan. Keinginan ini erat berkaitan dengan pandangan, seperti yang diungkapkan oleh C.W. Margadant bahwa ”raja-raja bumiputera bukanlah kekuasaan asing, melainkan pemerintah bumiputera berpemerintahan sendiri dan bebas dalam wilayah Hindia Belanda, yang mengakui kedaulatan, Ratu Belanda dan menjadi vasalnya ....”. Oleh karena itulah penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan yang pada waktu itu berkedudukan sebagai kerajaan sekutu dipandang sebagai usaha untuk menciptakan ”ketertiban dan ketenteraman” (rust en orde).
Untuk mewujudkan kebijaksanaan Van Heutsz ini, dipersiapkan pasukan pendudukan untuk menaklukan dan memaksa kerajaan-kerajaan yang pada waktu itu masih berkedudukan sebagai kerajaan sekutu atau apa yang oleh Pemerintah Belanda disebut zelfbesturende landaschappen, agar tunduk dan takluk sepenuhnya di bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Di Sulawesi Selatan yang pada waktu itu masih berdiri beberapa kerajaan yang berkedudukan kerajaan sekutu, seperti kerajaan-kerajaan: Gowa, Laikang, Bone, Luwu, Mandar, Wajo, Soppeng, Tanete, Barru, Suppa, Sidenreng, dll. Disamping beberapa daerah yang sepenuhnya telah berada di bawah kekuasaan langsung Pemerintah Hindia Belanda, seperti: Noorder districten (sekarang kabupaten-kabupaten: Maros, Pangkajene), Bulukumba-Bonthain, Zuider districten (kabupaten-kabupaten: Takalar, Jeneponto), dan Makassar, tidak luput dari rencana sasaran pasukan pendudukan Pemerintah Hindia Belanda. Itulah sebabnya pada tahun 1905 Pemerintah Hindia Belanda mengirim pasukan pendudukan Sulawesi untuk memaksa kerajaan-kerajaan itu menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan menandatangani ”Pernyataan Pendek” (Korte Verklaring) yang disodorkan (Harun, 1984)
Rencana menaklukkan Sulawesi Selatan secara keseluruhan mendorong Pemerintah Hindia Belanda mempersiapkan pasukan pendudukan di tiga tempat. Setelah persiapan maka pasukan pendudukan diberangkatkan. Dari Jawa Barat diberangkatkan pasukan pada tanggal 11 dan 13 Juli dari Tanjung Priok, dari Jawa Tengah diberangkatkan pada tanggal 13 dan 15 Juli dari Semarang, dan dari Jawa Timur diberangkatkan pada tanggal 13 dan 15 Juli dari Surabaya (Alex Callinicos 1994). Semua pasukan yang diberangkatkan itu berlayar ke Sulawesi Selatan dengan tujuan utama adalah Bajoe, sebuah pelabuhan yang cukup aman, yang terletak di Teluk Bone, dimana juga Kerajaan Bone berada. Namun sebelum semua pasukan berkumpul di Bajoe, pasukan-pasukan tersebut sebagian besar singgah di Bantaeng untuk konsolidasi strategi dalam penyerangan secara terpadu ke Kerajaan Bone.
Penetuan Bantaeng sebagai tempat singgah pasukan ekspedisi Belanda karena beberapa pertimbangan. Pertimbangan utama adalah pertimbangan keamanan pasukan, dimana Bantaeng dianggap daerah yang paling aman ditempati berlabu para pasukan karena pelabuhan tersebut sangat memungkinkan. Pertimbangan lain Bantaeng dianggap aman, karena daerah ini adalah daerah penguasaan langsung Pemerintah Hindia Belanda sejak pasca Perang Makassar sehingga daerah ini cukup terkontrol dari segi keamanan karena telah banyak pasukan pertahanan yang ditempatkan sebelumnya sebagai pasukan pengamanan pusat pemerintahan Afdeeling Bantaeng. Disamping itu, Bantaeng telah terbukti dianggap strategis ditempati para pasukan untuk melakukan konsolidasi dan tempat penyusunan strategi penyerangan, termasuk tempat pemberian pembekalan, baik logistik maupun perlengkapan pasukan pada agresi militer Belanda ke Bone pada tahun 1824-1825 dan agresi militer Belanda pada tahun 1859-1860 juga ke Kerajaan Bone. Kedua-duanya agresi tersebut dianggap berhasil dan sukses, cuma pada agresi pada tahun 1859-1860, setelah selesai penaklukan para pasukan Belanda banyak terjangkiti penyakit kolera yang menular dan akhirnya banyak diantara mereka meninggal gara-gara penyakit tersebut, sehingga sebagian harus kembali ke Bantaeng dan sebagian langsung ke Makassar (Alex Callinicos 1994).
Bahkan sehari sebelum penyerangan dilakukan, pimpinan agresi ke Kerajaan Bone, Mayor Jenderal E Stenmentz memberikan pidato kepada perwiranya di Bantaeng yang akan melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Bone, dan pidato ini adalah pidato perintah harian sebagai berikut: ”... Perwira, Bintara dan Prajurit! Ratu Bone telah merusak kedaulatan Pemerintah Belanda di Celebes, menerima utusan-utusan pemerintah dengan cara-cara yang menghina, dan membalik bendera kebangsaan Belanda. Untuk semua ini akan diminta tanggungjawab dan apa bila semua persyaratan yang diajukan kepadanya ditolak, maka pertanggungjawaban itu akan dipaksakan. Diangkat sebagai komandan dan Kepala Ekspedisi serta satuan tempur yang ada di Celebes yang kini menyatu di teluk Bantaeng, pemerintah itu kini saya laksanakan. Dikeluarkan di Teluk Bantaeng di atas kapal perang ”ZM. Amsterdam, tanggal 24 Januari 1859” (Alex Callinicos 1994)
Dengan alasan tersebut, maka sangat memungkinkan penyerangan yang akan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan penyisiran keamanan di Bantaeng dan sekitarnya. Setelah Bantaeng dianggap betul-betul aman barulah pasukan diarahkan ke pelabuhan Bajoe, baik yang melalui jalan darat dan lebih-lebih jalur laut yang semua akan terkonsentrasi dan terpusat di Bajoe. Penentuan Bajoe sebagai titik temu pasukan pendudukan itu erat berkaitan denga strategi tindakan militer yang telah dicanangkan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan sekutu yang berasal di Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa yang pada abad XVII dipandang terkuat dan memiliki hegemoni kekuasaan di daerah itu, setelah dicapai Perjanjian Bungaya pada tahun 1667 sebagai bukti berakhirnya Perang Makassar, berangsur-angsur mengalami kemunduran dan menjelang akhir abad XIX semakin ditekan agar tidak berdaya untuk menunjukkan kekuasaan. Sebaliknya kerajaan Bone lebih kuat dan merupakan kerajaan terkuat pada waktu itu di Sulawesi Selatan. Itulah sebabnya sasaran pertama tindakan pasukan pendudukan adalah Kerajaan Bone, dengan perhitungan bila Kerajaan Bone berhasil ditaklukkan, maka kerajaan-kerajaan sekutu lainnya di Sulawesi Selatan akan mudah ditaklukkan dan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 18 Juli, kapal perang dan kapal dagang yang mengangkut pasukan pendudukan Sulawesi yang berjumlah kurang lebih 25 kapal telah berkumpul di Bajoe yang sebelumnya berlabuh di Bantaeng dan secara berangsur-angsur meningggalkan Bantaeng menuju Bajoe. Di Bajoe berlabuh pada jarak kurang lebih 5000 meter dari pantai. Setelah mendapat perintah dari Gubernur Sulawesi dan daerah takluknya (Gouverneur Celebes en Onderhoorigheden), C.A. Krossen, maka pada tanggal 21 Juli 1905 utusan Pemerintah Hindia Belanda didaratkan ke pelabuhan untuk menghadap raja Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri, dan mengajukan tuntutan kepadanya. Isi pokok tuntutan itu ialah mengharuskan pemerintah Kerajaan Bone menandatangani ketentuan penyerahan kepada Pemerintah Hindia Belanda, persetujuan ganti rugi/ pelaksanaan penarikan pajak, hak ekspor dan import: mengakui hak pemerintah Hindia Belanda dalam daerah kerajaan Bone. Sehubungan dengan ini maka ditempatkan pegawai pemerintah Hindia Belanda di Bone.
Tanggapan dan Reaksi Kerajaan Bone
Tuntutan itu disambut dengan usaha mempersiapkan diri dan memperkuat posisi kekuatan pasukan militernya guna menghadapi pasukan pendudukan Belanda. Sejumlah besar pasukan kerajaan Bone ditempatkan di daerah-daerah pesisir yang dipimpin oleh I Ali Arung Cenrana. I Massakirang Arung Macege, Petta Sore Daulung Ajanggalak, dan Petta Nompo Arung Bengo. Setelah persiapan untuk menghadapi pasukan pendudukan Belanda selesai, raja Bone mengirim utusan untuk menyampaikan jawaban atas tuntutan yang diajukan kepadanya itu. Adapun jawaban kerajaan Bone sebagai berikut: ”Semua usaha-usaha untuk membawa Bone kepada pemikiran yang lebih baik haruslah dipandang tidak bermanfaat; Negeri ini telah tertutup bagi ekspor dan impor (Alex Callinicos 1994).
Penolakan kerajaan Bone terhadap tuntutan yang diajukan kepadanya, memaksa pasukan pendudukan diperintahkan untuk melakukan penyerangan. Pada dini hari tanggal 28 Juli 1905, pasukan pendudukan didaratkan dan diiringin dengan dentunan-dentunan penembakan dari kapal perang Belanda, M.M. ’s Hertog Hendrik yang menggunakan 15 meriam dan 3 granat ke arah ibu kota Kerajaan Bone, Watampone. Tembakan-tembakan ini dimaksudkan untuk dapat melindungi gerak maju dari pasukan pendudukan. Pendaratan pasukan pendudukan itu disambut oleh pasukan pertahanan Kerajaan Bone dengan tembakan-tembakan yang cukup dahsyat. Pasukan pertahanan Kerajaan Bone menurut dugaan sekitar 2000 sampai 7000 orang tidak mampu membendung dan membinasakan pasukan pendudukan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih baik dan lebih lengkap. Dalam pertempuran itu, pasukan pertahanan Kerajaan Bone mengalami kerugian yang besar dan kehilangan pasukannya sekitar 1000 orang, sedangkan dipihak Belanda yang meninggal hanya 48 orang, 9 orang luka berat dan 11 orang luka ringan. Kerugian yang dialami oleh Kerajaan Bone ini juga tentunya terpaut pada taktik dan strategi perang yang baru dicanangkan setelah pasukan pendudukan Belanda telah siap untuk melancarkan penyerangan, sehingga sangat sederhana dan tidak tertata dengan baik.
Kegagalan pasukan pertahanan Kerajaan Bone di pesisir dan keberhasilan pasukan pendudukan Belanda menerobos benteng pertahanan Bone, memaksa Raja Bone beserta panglima tertinggi angkatan perangnya, Abdul Hamid Petta Ponggawae (putra raja Bone) beserta para pembesar kerajaan dan rakyat untuk meninggalkan kota Watampone dan mengungsikan diri ke pedalaman. Pasukan pertahanan di kota Watampone juga akhirnya berhasil dipatahkan oleh pasukan pendudukan Belanda pada tanggal 30 Juli 1905.
Dari kota Watampone, pasukan pendudukan Belanda mempersiapkan penyerangan kearah pedalaman. Pada tanggal 2 Agustus 1905, pasukan pendudukan Belanda melaksanakan serangan besar-besaran terhadap daerah Pasempe, karena berdasarkan keterangan bahwa raja Bone dan pembesar-pembesar kerajaan Bone lainnya berada di daerah itu. Serangan itu mendapat perlawanan dari pasukan pertahanan kerajaan Bone, yang pada waktu itu telah diperkuat dengan pasukan bantuan dari kerajaan Gowa, Sidenreng, dan Wajo, dibawah pimpinan Lapage Arung Labauaja. Dalam pertempuran ini, pasukan gabungan itu harus mengakui keunggulan lawan mereka. Kemenangan yang dicapai oleh pasukan pendudukan Belanda akhirnya menghantarkan kerajaan Bone untuk tunduk sepenuhnya di bawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda. Arung Pitu yang merupakan dewan penasehat dan pemilihan raja tidak mampu berbuat apa-apa dan bersedia menyerahkan kerajaan Bone sepenuhnya, dengan menandatangani ”pernyataan pendek” dan mengakui pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintah yang sah atas kerajaan Bone.
Walaupun Kerajaan Bone seluruhnya dikuasai, akan tetapi pasukan pendudukan itu tetap merasa belum mencapai sukses yang sepenuhnya karena Raja Bone belum berhasil ditawan dan dipaksa untuk mengakui kekuasaan Belanda. Itulah sebabnya, di samping pengiriman pasukan pendudukan ke berbagai kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk memaksa mereka mengakui kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan menandatangani Pernyataan Pendek. Dipersiapkan juga pasukan khusus untuk mengejar dan menangkap Raja Bone. Pada awal September diperoleh berita bahwa Raja Bone dan pengikutnya berada di daerah Pitumpanua. Dengan segera dikirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Marsose Stripsian Luiscius. Penyeranga itu mendapat perlawanan yang cukup sengit dari pasukan pengawal Raja Bone yang dibantu oleh pasukan Wajo yang berusaha melindungi Raja Bone. Walaupun demikian usaha Raja Bone untuk membebaskan diri dari paksaan pemerintah Belanda untuk mengakui kekuasaannya, tidak dapat diteruskan karena usaha pengejaran pasukan pendudukan Belanda yang terus-menerus dilakukan itu, akhirnya berhasil menawan Raja Bone La Pawawoi Karaeng Sigeri pada tanggal 18 November 1905. Dalam pertempuran untuk mempertahankan diri yang terakhir itu, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Bone Abdul Hamid Petta Ponggawae, Panglima Perang Raja, Daeng Mattenge, beberapa keluarga dan pengikut Raja Bone gugur. Raja Bone berhasil ditawan dan dibawa ke Makassar, kemudian dengan alasan demi ”ketenteraman dan keamanan” diasingkan ke Bandung (Jawa Barat).
Setelah Bone berhasil ditaklukkan, kegiatan pasukan pendudukan Belanda mulai diarahkan kepada kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk memaksa mereka mengakui kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan bersedia menandatangani ”Pernyataan Pendek” yang disodorkan. Kebanyakan dari kerajaan-kerajaan itu menerima dan bersedia menandatangani ”Penyataan Pendek”, namun perlawanan kerajaan-kerajaan kecil tidak mampu melawan pasukan ekspedisi Belanda. Hal ini disebabkan karena mereka telah terpatahkan secara tidak langsung oleh kemenangan yang dicapai pasukan pendudukan Belanda atas kerajaan Bone, yang pada waktu itu dipandang sebagai kerajaan terkuat dan memiliki persenjataan yang baik dengan pasukan militer yang banyak pula.
Kerajaan-kerajaan kecil lainnya nampak dengan mudah dapat dipaksakan oleh tentara pendudukan Belanda untuk menerima dan menandatangani ”Pernyataan Pendek”. Dikatakan mudah karena perlawanan-perlawanan yang dilakukan dengan mudah dapat dipatahkan oleh tentara pendudukan dan bahkan ada beberapa kerajaan yang dipaksa tidak melakukan perlawanan karena tekanan dan keberhasilan tentara pendudukan Belanda mematahkan perlawanan kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa telah menggugurkan rencana perlawanan mereka. Hal ini bukan karena pertimbangan tidak akan mampu dan berhasil mematahkan rencana Belanda akan tetapi untuk menghindari korban jiwa yang sia-sia.
Pada tahun 1906, Sulawesi Selatan secara keseluruhan telah berada sepenuhnya di bawah kekuasaan langsung Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan ”Pernyataan Pendek”. Keberhasilan pasukan pendudukan itu menyediakan dan memberikan lapangan baru bagi pelaksanaan kekuasaan dan pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda, karena sejak saat itu Pemerintah Hindia Belanda menempatkan dirinya sebagai penguasa yang sah di Sulawesi Selatan secara keseluruhan.
Kesimpulan
Belanda beberapa kali merencanakan dan melakukan penguasaan langsung Sulawesi Selatan, namun yang besar imbasnya adalah terjadi pada pasca awal Perang Makassar dibawah kekuasaan VOC, dan yang terakhir terjadi pada awal abad XX, tepatnya tahun 1905 dalam kebijakan ekspedisi militer Belanda dibawah kekuasaan penuh Pemerintah Hindia Belanda. Bugis (Kerajaan Bone) sendiri masuk dalam rencana penguasaan langsung Pemerintah Hindia Belanda tersebut. Seiring dengan pelaksanaan Politik Etis, juga Pemerintah Hindia Belanda melakukan ekspansi yang dikenal dengan ”Ekspedisi Militer Belanda” pada tahun 1905. Di Sulawesi Selatan ketika itu masih berdiri beberapa kerajaan yang selalu menghalangi imprealisme Belanda sebagai pemegang otoritas politik dan ekonomi. Kerajaan yang dimaksud adalah kerajaan yang berkedudukan kerajaan sekutu, seperti kerajaan Gowa, Laikang, Bone, Luwu, Mandar, Wajo, Soppeng, Tanete, Barru, Suppa, Sidenreng, dll. Termasuk daerah kekuasaan langsung Pemerintah Hindia Belanda, seperti: Noorder districten, Bulukumba-Bothain, Zuider districten dan Makassar, tidak luput dari rencana sasaran pasukan pendudukan Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam ekspedisi tersebut ditetapkan menaklukkan Bone terlebih dahulu dengan pertimbangan bahwa Kerajaan Gowa yang pada abad XVII dipandang terkuat dan memiliki hegemoni kekuasaan di daerah itu, setelah dicapai Perjanjian Bungaya pada tahun 1667 maka Kerajaan Bone-lah yang dianggap terkuat. Maka dilakukanlah penyerangan terhadap Kerajaan Bone dan sekutu-sekutu setelah menolak persyaratan yang diajukan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1905. Tanggal 28 Juli 1905 pasukan pendudukan melakukan penembakan, pada tanggal 30 Juli 1905 Arung Pitu yang merupakan dewan penasehat dan pemilihan raja dipaksa menyerahkan Kerajaan Bone sepenuhnya. Akhirnya pihak militer Belanda berhasil menawan Raja Bone La Pawawoi Karaeng Sigeri pada tanggal 18 November 1905. Kemudian diasingkan ke Bandung (Jawa Barat).
Saran-saran
Penelitian ini diharapkan kelak dapat menjadi bahan informasi kesejarahan Bone yang lengkap dan bermuatan fakta-fakta keras (hard fact) sehingga menjadi bahan baku bagi rancangan penulisan Sejarah Bone. Dengan hasil ini diharapkan dapat memberikan informasi kesejarahan bagi penulisan sejarah nasional. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa informasi dan fakta sejarah daerah ini yang termuat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia sangat kurang.
DAFTAR PUSTAKA
- Alex Callinicos 1994, Marxsisme dan Imperialisme, Amerika, Bookmarks.
2. Noto Susanto, Nugroho, 1978, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta, Idayu.
- Ahimsa Putra, Heddy Shri , 1993, The politics of Agrarian Change and Clientelism in Indonesia: Bantaeng, South Sulawesi, 1883 to 1990, Amerika (Columbia University).
- Poelinggomang, Edward L, 2004, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, Yogyakarta, Ombak.
- Edward L.Poelinggomang, dkk, 2004, Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I, Badan Penelitian Dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) propinsi Sulawesi Selatan, Makassar.
- Kadir, Harun, dkk., 1984, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Di Sulawesi Selatan (1945-1950), diterbitkan atas kerjasama Bappeda Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan dengan Universitas Hasanuddin
- Kartodirjo, Sartono, 1988, Pengantar sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium jilid I, Jakarta, Gramedia,
- ............................, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta, Gramedia.
9. Suhartono, 1994, Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908- 1945, , Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
- Abdullah, Taufik dkk, (editor), 1985, Ilmu sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, Jakarta, Gramedia.
- Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana dan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
- Depdikbud, 1981, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang: Proyek inventarisasi dan dokumentasi sejarah nasional
- Pemerintah Propensi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991, Sejarah Perkembangan pemerintahan departemen Dalam Negeri di Propensi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan