Perkawinan : Perspektif Bugis
Perkawinan adalah salah satu kejadian sosial yang penting dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Tingkat kemeriahan suatu perkawinan ditentukan status sosial masyarakat bersangkutan. (Chabot, 1984: 202). Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala’ saling mengambil satu sama lain Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. walaupun mereka berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami-istri mereka merupakan mitra. Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud kian mempererat dalam teks Bahasa Bugis disebut ma'pasideppe' mabela-e atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006: 178).
Perkawinan umumnya berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi yang sama, sehingga mereka sudah saling memahami sebelumnya. Oleh karena itu mereka yang berasal dari daerah lain, cenderung menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang yang telah mereka kenaI baik melalui jalur perkawina atau dengan kata lain, perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadl "bukan orang lain" (tennia tau laeng).
ldealnya, perkawinan dilangsungkan dengan keluarga sendiri. Perkawinan antarsepupu, sepupu paralel (yaitu keduanya melalui sisi ibu atau melalui sisi bapak) atau pun sepupu silang yaitu satu dari sisi ibu dan sarunya lagi dari bapak, dianggap sebagai perjodohan terbaik. Ada silang pendapat di kalangan masyarakat Bugis tentang lapisan sepupu keberapa yang boleh dan yang tidak boleh dikawini. Banyak yang menganggap bahwa perkawinan dengan sepupu satu kali (perkawinan semacam ini disebut siala marola) "terlalu panas", sehingga hubungan seperti itu jarang terjadi, kecuali di kalangan bangsawan tertinggi. "Darah putih" yang mengalir dalam tubuh mereka dan harus dipelihara membuat mereka melakukan hal itu, sebagaimana halnya tokoh-tokoh dalam cerita La Galigo. Sementara masyarakat biasa lebih menyukai perkawinan dengan sepupu kedua (siala memeng), lalu sepupu ketiga dan keempat.
Hal penting lainnya adalah, pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasal dari generasi atau angkatan yang berbeda. Pasangan yang hendak menikah sebaiknya berasal dari generasi atau "angkatan" yang sama. Perkawinan antara paman dan kemenakan perempuan, atau bibi dan kemenakan laki-Iaki dilarang, dan hubungan badan di antara mereka akan dianggap sebagai salimaa (hubungan sumbang, inses). Sementara itu, perkawinan dengan anak dari sepupu keberapa sebalknya dihindari. Naskah silsilah yang ada, menunjukkan bahwa aturan ini ditegakkan dengan sangat ketat, dan jarang sekali terjadi pelanggaran. Mengingat seringnya para bangsawan, begitu pula anak-anak mereka, kawin dengan perempuan yang berusia jauh lebih muda dari mereka, menyebabkan lanyak putra bangsawan yang sebaya usianya dengan kemenakan mereka. Namun, tidak ada paman/bibi yang kawin dengan kemenakan mereka walaupun usia mereka sebaya.
Bagi kaum bangsawan, faktor lain yang harus diperhatikan-yang paling ,cnting, malah-adalah kesesuaian derajat antara pihak laki-Iaki dan perempuan. lerbeda dengan bangsawan laki-Iaki yang diperbolehkan kawin dengan pasangan erstatus lebih rendah, bangsawan perempuan sama sekali tidak diperbolehkan lenikah dengan orang yang lebih rendah derajatnya. Semakin tinggi status kebangsawanan seseorang, semakin ketat pula aturan yang diberlakukan. Hal itu masih tetap berlaku hingga kini. Namun, di kalangan bangsawan rendah, kompromi kian hari kian cenderung terjadi. Istri utama pria bangsawan tinggi (yang tidak mesti istri pertama) biasanya memiliki derajat kebangsawanan ya sama dengan suaminya. Sementara istri-istri lainnya bisa berasal dari kalangl lebih rendah, atau bahkan orang biasa.
Dalam proses perkawinan, pihak laki-Iaki harus memberikan mas kawin kepada perempuan. Mas kawin terdiri atas dua bagian. Pertama, sompa (secara harfiah berarti "persembahan" dan sebetulnya berbeda dengan mahar dalam Islam) yang sekarang disimbolkan dengan sejumlah uang rella' (yakni rial, mata uang Portugis yang sebelumnya berlaku, antara lain, di Malaka). Rella' ditetapkan sesuai status perempuan dan akan menjadi hak miliknya. Kedua, dui menre (secara harfiah berarti 'uang naik') adalah "uang antaran" pihak pria kepadl keluarga pihak perempuan untuk digunakan melaksanakan pesta perkawinan Besarnya du menre ditentukan oleh keluarga perempuan. Selain itu ditambahkan pula lise kawing (hadiah perkawinan), dalam Islam disebut mahr atau hadiah kepada mempelai perempuan: biasanya dalam bentuk uang.
E. Kerangka Konseptual
Gagasan yang diterima dari berbagai disiplin ilmu, utamanya Antropologi terdiri atas dua macam pernyataan. Yang pertama ialah pernyataan empirik tentang fakta, yang didapat melalui pengamatan, observasi. Yang kedua, pernyataan teoritik yang dipandang bersifat spekulatif serta dapat berubah dan berbeda seiring dengan pergeseran titik-pandang atau pendapat. Sejalan dengan itu, jika seorang mengumpulkan semua fakta yang relevan, maka teori dapat dirumuskan dan disusun agar cocok untuk menjelaskan fakta itu. Perbedaan antara fakta dan teori dalam Antropologi, yakni berupa perbedaan antara etnografi (deskripsi budaya) dan etnologi (pembentukan teori mengenai fenomena budaya itu) (Kaplan, 2002: 27)
Etnologi pembentukan/pendekatan teoretis dan Etnografi adalah pendekatan empiris keduanya bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Menurut Geertz (1973) etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan ‘kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial yang lebih luas.
Kajian budaya etnografis memusatkan diri pada penjelajahan kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks ‘keseluruhan cara hidup’, yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan (life-worlds) dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorientasi media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode kualitatif, termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah.
Tetapi, ada beberapa kritik pada etnografi yang patut diperhatikan: Pertama, data yang dipresentasikan oleh seorang etnografer selalu sudah merupakan sebuah interpretasi yang dilakukan melalui mata seseorang [sumber data], dan dengan demikian selalu bersifat posisional. Tapi ini adalah argumen yang bisa diajukan pada segala bentuk penelitian. Argumen ini hanya menunjuk pada ‘etnografi interpretatif’. Kedua, etnografi dianggap hanya sebagai sebuah genre penulisan yang menggunakan alat-alat retorika, yang seringkali disamarkan, untuk mempertahankan klaim-klaim realisnya (Clifford dan Marcus, 1986). Argumen ini mengarah pada pemeriksaan teks-teks etnografis untuk mencari alat-alat retorikanya, serta pada pendekatan yang lebih reflektif dan dialogis terhadap etnografi yang menuntut seorang penulis untuk memaparkan asumsi, pandangan dan posisi-posisi mereka. Juga, konsultasi dengan para ‘subjek’ etnografi perlu dilakukan agar etnografi tidak menjadi ekspedisi pencarian ‘fakta-fakta’, dan lebih menjadi percakapan antara mereka yang terlibat dalam proses penelitian.
Kritik terhadap klaim epistemologis etnografi tidak lantas membuatnya tidak bernilai atau harus ditinggalkan. Tidak ada perbedaan epistemologis yang mendasar antara etnografi dan sebuah novel berlapis-lapis yang tujuannya bukanlah untuk menghasilkan gambaran yang ‘benar’ tentang dunia, melainkan untuk melahirkan empati dan melebarkan lingkaran solidaritas manusia (Rorty, 1989). Maka, seorang etnograf memiliki justifikasi personal, puitis dan politis ketimbang epistemologis.
Menurut pandangan yang demikian, data etnografis memberi eskpresi puitis pada suara-suara dari budaya-budaya lain atau dari ‘pinggir-pinggir’ budaya kita sendiri. Menulis tentang suara-suara semacam itu tidak lagi dianggap sebagai suatu laporang ‘ilmiah’ tapi ekspresi dan narasi puitis yang memunculkan suara-suara baru untuk bergabung dengan apa yang disebut Rorty (1989) ‘percakapan kosmopolitan umat manusia’. Dengan demikian data etnografis bisa menjadi jalan di mana budaya kita sendiri dibuat menjadi asing, memungkinkan lahirnya deskripsi-deskripsi baru tentang dunia.
Geertz (1973) sebagai pelopor Interpretasi Simbolik, memahami kebudayaan sebagai sistem makna fenomena. Bahwa sesuatu itu kosong, dan manusialah yang memberikan padanya makna. Oleh sebab itu, budaya menurutnya adalah teks, sedangkan makna adalah substansi dari teks itu. Budaya dipahami sebagai makna dari simbol yang terkandung dalam berbagai hal yang disepakati sebagai simbol oleh kumunitas pendukung kebudayaan secara arbitrer.
Lebih lanjut Geertz (1973) berpendapat bahwa bahasa adalah awal dari simbolisasi yang dipahami manusia. Oleh sebab itu, pemahaman akan bahasa menjadi penting dan syarat utama jika seseorang hendak melakukan penelitian terhadap simbol-simbol tertentu dari suatu komunitas. Dalam konteks ini, Geertz memahami budaya sebagai teks. Atas dasar itu, menurutnya studi antropologi seharusnya bergeser dari upaya eksplanasi menjadi upaya menemukan makna dan memandang penting simbol, dengan meletakkan signifikansi konteks sosial dari simbol itu.
Dua tugas ilmiah para antropolog yang menggunakan teori interperatis simbolik (berlaku juga bagi antropolog secara umum), yaitu: (1) mengungkapkan struktur-struktur konseptual yang menginformasikan subjek. Dimensi ini biasa disebut thin description atau native point of view (perspektif emik), (2) menkonstruksi suatu sistem analisis yang ada dalam struktur-struktur berdasarkan konsepsi yang dipahaminya atau thick description. Atau dengan kata lain, pemaknaan atas objek studi lebih cenderung didominasi oleh subjektifitas peneliti itu sendiri. Dalam studi antropologi cara pandang yang demikian disebut perspektif etik. Cara pandang ini juga dikemukakan oleh Kaplan (2002: 259) bahwa pembahasan etnografis akan diungkapkan dalam “kategori warga budaya setempat” (emik), atau menurut “kategori Antropolog” (etik), atau dalam semacam kombinasi keduanya seperti sangat sangat sering terjadi.
Antropologi simbolik adalah studi yang mengkaji tentang sistem kode dan pesan yang diterima oleh manusia melalui interaksi mereka dengan manusia lain dan dengan dunia ilmiah. Oleh sebab itu, bagi kaum antropolog simbolik seluruh alam semesta dipenuhi oleh tanda-tanda. Tanda-tanda itulah yang dipahami sebagai teks yang harus dipahami peneliti dalam mengungkapkan kebudayaan manusia. Oleh karena budaya dipahami sebagai teks, maka di dalamnya terdapat sifat teks yang arbitrer atau sewenang-wenang.
Menurut Geertz, budaya ialah sistem makna dari simbol yang terkandung dalam berbagai hal yang disepakati sebagai simbol oleh komunitas pendukung kebudayaan secara arbitrer. Meskipun bersifat teks sebagai budaya yang arbitrer yang dihasilkan oleh manusia, namun para antopolog simbolik tetap menempatkan manusia sebagai pembawa dan produk dari suatu sistem tanda dan simbol untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan.
Pandangan-pandangan teoritis di atas, jika ditarik secara linear ke dalam suatu tenomena budaya, akan memunculkan paradigma analisis teoritik yang banyak dipengaruhi titik-pandang atau pendapat. Dalam konteks ini, fenomena budaya, temasuk perkawinan adat di Bone memiliki karakternya tersendiri. Sehingga untuk memahaminya dibutuhkan suatu perspektif teoritis dan operasional. Namun demikian hampir tidak ada suatu perspektif yang dapat melakukan pembacaan terhadap suatu fakta budaya secara komprehensif. Kekurangan dalam memahami suatu realitas menjadi cacat bawaan pada setiap perspektif. Untuk itu tidak ada tempat bagi suatu perspektif dijadikan sebagai sebuah ideologi, kecuali senantiasa mengalami koreksi dan konstruksi untuk sebuah pemahaman yang sempurna.
Dalam penelitian ini pun tentunya memiliki kelemahan dalam pembacaannya karena penerapan perspektif. Namun demikian, sejauh ini penulis setelah melakukan telaah yang lebih lama terhadap berbagai perspektif yang ada dalam Antropologi guna melakukan pembacaan terhadap fenomena perkawinan adat di Bone, menemukan bahwa perspektif Interpretatif Simbolik untuk sementara ini yang lebih operasional dalam melakukan pembacaan dan penjelasan terhadap realitas yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Disadari sepenuhnya bahwa perspektif ini yang menekankan aspek hermenuitika bagi beberapa ilmuan pada dasarnya telah mendapatkan kritikan. Beberapa ilmuan boleh jadi mengungkapkan ketidak sepakatannya terhadap penerapan paradigma tersebut.
Namun demikian ada hal yang sifatnya logis yang ditemukan di lapangan yang mendorong penelitian ini menerapkan pendekatan tersebut, yakni bahwa perkawinan adat di Bone, khususnya dari sudut pandang Interpretatif Simbolik memiliki makna dan nilai serta memiliki fungsi dan peranan yang signifikan untuk menciptakan keselarasan dalam kehidupan rumah tangga. Keselaran dan keharmonisan dalam rumah tangga ini kemudian dapat membentuk keselarasan kolektif.
Perkawinan adat merupakan proses penyatuan dua insan dalam satu ikatan bathin. Didalamnya dipenuhi kompkesitas upacara-upacara dengan cakuman makna. Konteks ini segala bentuk proses perkawinan adat merupakan teks, dan baru dapat dipahami makna ketika dilakukan kajian interpretasi dengan memeriksa fenomena sebagai sistem makna dan segala interaksi di dalamnya.